Nurani Sang Ibu
Alkisah, terdapat dua perempuan (tua dan muda) yang sama-sama memiliki anak bayi. Bayi dari perempuan tua itu dimakan Serigala. Karena takut suaminya marah, perempuan tua merebut bayi perempuan muda dan mengajukan kasusnya ke mahkamah keadilan. Mahkamah keadilan yang dipimpin oleh Nabi Dawud memenangkan perempuan tua, karena ia dapat mengemukakan alasan yang rasional (maklum waktu itu belum ditemukan tes DNA). Melihat putusan yang tidak adil itu, perempuan muda naik banding.
Ia mengajukan kasusnya ke mahkamah keadilan dan meminta agar sidangnya dipimpin Nabi Sulaiman (Anak Nabi Dawud). Untuk memberi keadilan pada kedua perempuan itu, Sulaiman mengambil pisau dan akan membelah tubuh bayi menjadi dua bagian. Separuh untuk perempuan tua dan separuh yang lain untuk perempuan muda. Melihat cara seperti itu, nurani perempuan muda (sang ibu) tidak tega anaknya dibelah. Dengan terpaksa ia mengatakan: jangan lakukan, Allah mengasihi anak ini, biarlah bayi itu untuknya. Karena ucapan itu, Sulaiman memutuskan bahwa bayi itu milik perempuan muda, sebab tak mungkin seorang ibu tega melihat bayinya dibelah menjadi dua.
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah di atas menunjukkan kejujuran nurani. Ketika nurani berbicara, tak satu pun rekayasa rasio mampu melawannya, apalagi nurani itu diungkapkan oleh sang ibu yang memiliki tingkat kepekaan nurani yang tinggi. Menurut Erich Fromm dalam The Art of Loving, nurani kecintaan sang ibu tanpa syarat terhadap kebutuhan anak-anaknya. Penguatan itu muncul dalam dua bentuk: Pertama, perhatian dan tanggung jawab yang mutlak, demi pemeliharaan hidup anak dan perkembangannya; Kedua, sikap kepada anak untuk menanamkan cinta akan kehidupan dengan penuh perasaan. Kecintaan nurani ini dinilai sebagai cinta yang paling tinggi dan suci dari segala ikatan emosional.
Nurani keibuan merupakan nurani altruistik yang selalu mementingkan orang lain. Ia rela memberikan kebahagiaan untuk anak yang dicintai, meskipun dirinya menderita. Nurani keibuan terkait dengan pertumbuhan anak, baik pisik maupun psikis, tetapi ia tidak menuntut penyatuhan diri. Ia rela berpisah pada anak yang dicintai dan melepaskannya untuk dicintai dan diambil oleh orang lain. Nurani keibuan bersifat fitriah dan naluriah yang pertumbuhannya tidak didorong atau dipaksakan oleh motif-motif tertentu. Nurani keibuan dalam Islam dilukiskan sebagai nurani yang memancar dari syurga, satu nurani yang membawa kedamaian, ketenangan, dan kasih sayang. Nurani keibuan memiliki kualitas tertinggi dalam bursa cinta yang ada. Sabda Nabi Saw.: Sesungguhnya syurga itu di bawah kedua kaki-nya (ibu). (HR. al-Nasai dari Mu awiyah bin Jahimah al-Salami)
Tulisan Prof. DR. Abdul Mujib, MA
Ia mengajukan kasusnya ke mahkamah keadilan dan meminta agar sidangnya dipimpin Nabi Sulaiman (Anak Nabi Dawud). Untuk memberi keadilan pada kedua perempuan itu, Sulaiman mengambil pisau dan akan membelah tubuh bayi menjadi dua bagian. Separuh untuk perempuan tua dan separuh yang lain untuk perempuan muda. Melihat cara seperti itu, nurani perempuan muda (sang ibu) tidak tega anaknya dibelah. Dengan terpaksa ia mengatakan: jangan lakukan, Allah mengasihi anak ini, biarlah bayi itu untuknya. Karena ucapan itu, Sulaiman memutuskan bahwa bayi itu milik perempuan muda, sebab tak mungkin seorang ibu tega melihat bayinya dibelah menjadi dua.
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah di atas menunjukkan kejujuran nurani. Ketika nurani berbicara, tak satu pun rekayasa rasio mampu melawannya, apalagi nurani itu diungkapkan oleh sang ibu yang memiliki tingkat kepekaan nurani yang tinggi. Menurut Erich Fromm dalam The Art of Loving, nurani kecintaan sang ibu tanpa syarat terhadap kebutuhan anak-anaknya. Penguatan itu muncul dalam dua bentuk: Pertama, perhatian dan tanggung jawab yang mutlak, demi pemeliharaan hidup anak dan perkembangannya; Kedua, sikap kepada anak untuk menanamkan cinta akan kehidupan dengan penuh perasaan. Kecintaan nurani ini dinilai sebagai cinta yang paling tinggi dan suci dari segala ikatan emosional.
Nurani keibuan merupakan nurani altruistik yang selalu mementingkan orang lain. Ia rela memberikan kebahagiaan untuk anak yang dicintai, meskipun dirinya menderita. Nurani keibuan terkait dengan pertumbuhan anak, baik pisik maupun psikis, tetapi ia tidak menuntut penyatuhan diri. Ia rela berpisah pada anak yang dicintai dan melepaskannya untuk dicintai dan diambil oleh orang lain. Nurani keibuan bersifat fitriah dan naluriah yang pertumbuhannya tidak didorong atau dipaksakan oleh motif-motif tertentu. Nurani keibuan dalam Islam dilukiskan sebagai nurani yang memancar dari syurga, satu nurani yang membawa kedamaian, ketenangan, dan kasih sayang. Nurani keibuan memiliki kualitas tertinggi dalam bursa cinta yang ada. Sabda Nabi Saw.: Sesungguhnya syurga itu di bawah kedua kaki-nya (ibu). (HR. al-Nasai dari Mu awiyah bin Jahimah al-Salami)
Tulisan Prof. DR. Abdul Mujib, MA
Posting Komentar
Belajarlah berkomentar, karena ia akan menjadi sangat berharga bagi yang mau melihat dan mendengar